Senin, 21 November 2011

lintasan sepenggal cerita sore itu

Cuaca bumi etam siang ini sungguh galau. Hujan tanpa kenal hari. Aku menyukai hujan, hujan bisa mengaburkan suaraku dan embun menguap ke langit bersama bulir-bulirnya, aku merindukannya. Rindu itu jauh, kekasih. Seperti ujung cakrawala. Bisu dan biru, basah namun dahaga. Seperti langit yang menuang hujan di bumi etam ini, rinduku hanya membayang.
Dingin menyeruak hingga pori-pori kulitku. Kularikan motor kesayanganku di salah satu mall perbelanjaan di kota minyak.

Secangkir espresso dan setangkup donat menemani lelahku di warung kopi yang terkenal di kota ini. Di sudut ruangan menyendiri, mencoba memahami rinai angin laut Balikpapan dan menulis aksara-aksara hati untuk sang kekasih. Terlintas dirinya di pulau seberang. Semesta...aku sangat rindu perjumpaan. Jarak membuih selaksa bulir-bulir riak hujan menyeringai hari. Dingin kekasih, tanpa hadirmu. Aku rindu.

Kepulan espresso merayap melangit bergumpal hangat, melukiskan lintasan percakapan kemarin malam.
"Kapan kau datang? Kenapa tidak memberi kabar? Aku bisa mempersiapkan semuanya". Katamu ketika kita bertemu di koridor ruang perkuliahan.
"Hai, kemarin sore aku datang, kabar selalu baik. Terima kasih, tapi aku sudah di jemput sama temanku, gimana kabarmu selama ini?" kataku, oh si Mata Elang...akhirnya bertemu juga aku denganmu setelah sekian waktu ku tinggal menunaikan tugas. Kau tak berubah, selalu mata elangmu itu mencengkeram mata dan tubuhku, namun bukan luka kali ini yangg kulihat, tapi sebuah kerinduan. Hei...ada kerinduan di mata elangmu.
"Aku senang kau kembali ke kota ini, hhmmm....semoga kita bisa kembali seperti dulu." Lirihmu di antara lengangnya koridor ini. "Maaf jika membuatmu seperti itu." lanjutmu.
"Maksudmu?"....aku paham maksudnya, namun pura-pura adalah hal yang baik.
"Sudahlah lupakan saja, aku tahu kamu di sana sudah menemukan yang lebih baik." uraimu. Aku tahu itu sebuah kekecewaan, sesaat?aku tidak tahu. Aku ingin mengatakannya namun aku telah melihat bahwa dia juga sudah mengerti aku, mengapa aku hanya diam.
Oh... mata elang, tidak segampang itu untuk berkata "kembali seperti dulu". kekecewaan, luka yang kau tanam mencacah hati dan raga. Masih mmebekas. Butuh waktu untuk bisa mengembalikan kesakitan ini. Kini kau kembali menawarkan rasamu. Hanya muak yang menyergap diri ketika bertemu kembali denganmu malam itu.

"Sayangku sudah kembali ke sini, aku sungguh senang...aku rindu semua tentangmu. Aku ingin merajutnya kembali bersamamu." Lelaki satunya lagi ketika pertemuan yang tak terduga di sebuah pementasan teater malam itu. Aku menyebutnya si mata ilalang. Mata ilalang yang pesonanya tak pernah padam di mata semua perempuan hingga kini, namun padam di mataku. "Aku rindu baumu, rindu setiap inchi tubuhmu, rindu kebersamaan kita, say..kembalilah bersamaku." lanjutmu lagi.
"Aku juga rindu, kabar semua tentangku baik-baik saja." jawabku. Ya aku merindukanmu. Merindukan perjumpaan denganmu, perjumpaan yang membuktikan bahwa aku kuat, sanggup untuk berdiri sendiri tanpa seorang lelaki yang telah menorehkan belati setajam sisa embun yang siap melangit lepas. Muak melihatmu mengiba diri malam itu.

aku kangen. kangen berdua bersamamu. kangen hari-hari kita. kau sudah tidak di sini?kapan kau kembali lagi ke sini?aku menunggumu.

Hmm...lelaki yang lain. hanya lewat sms. anak muda, kenapa kau kembali lagi menghubungiku. lelah, berusaha melupakanmu. Anak muda yang penuh bijak, berambisi, percaya diri. Betapa percaya dirinya memperjuangkan hubungan kami di depan keluarganya. Namun akhirnya takhluk juga ketika disodorkan seorang perempuan oleh orang tuanya. Semua harus berakhir. Dan semua itu membuat aku muak.

Muak terhadap lelaki yang telah meracau hidupku. Meninggalkan mereka adalah hal yang harus aku lakukan. Semua luka hanya menyisakan dendam kesumat terhadap semua lelaki. Membuktikan tegar, pura-pura tegar. Membuktikan sanggup, memang aku sanggup melupakan mereka.

Kini tersenyum sinis, melihat, mendengar, ibaan mereka untuk kembali. ah...kembali...sebuah kata yang tak termaafkan jika menyangkut luka. Sebuah trauma masa silam yang belum genap hilang, luka yang mengecap belum sembuh, luka lagi yang menambal hidup.

Ahh....kupalingkan wajahku di bulir hujan, rinai angin menyapa lembut, senyuman tersungging di wajah sendu, aku rindu kamu, kekasih. Betapa perjalanan hidup ini membuatku lelah, aku ingin pulang, rebah ke kasihmu. Aku mencintai-Nya lewat pelukan hatimu. Bimbinglah aku, kekasih. Agar ketika aku pulang ke nirwana-Nya, Dia menerimaku, perempuan terluka dan tak sempurna.


@20 November 2011, J.Co cafe Balcony Balikpapan, sore menjingga...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar