Kamis, 24 November 2011

oh..perempuan

oh..perempuan..
tak ada nyanyian pagi ini..setelah kau hilang di persimpangan
menikahi bis kota..membawamu entah kemana
tadi malam kau tembangkan gambuh..dalam gelap tanpa purnama
katamu ini asmaradhana..birahi tak terlepaskan

oh..perempuan..
tak akan ada nyanyian esok hari
setelah kau ambil keputusan..meniduri sang lara
bersenggama meregang nyawa
terbelai angin laut kau tembangkan megatruh
tanpa teman di ujung pantai..

oh..perempuan..adakah yang masih menerima kesucian cintamu, ketika rahwana telah mengisap ragamu..jiwamu..?..
oh perempuan yang akhirnya hanya tertunduk di hadapan-Nya...


@senandung hati malam itu di kemala beach, balikpapan

Rabu, 23 November 2011

aku setangkai bunga liar

aku setangkai bunga liar yang tak bernama
di tengah semak belukar dan rumpun ilalang
aku setangkai bunga sederhana dan seadanya
tak seindah mawar yang anggun atau melati yang harum
aku bunga kebebasan tumbuh di mana saja yang ku inginkan
meski terhempas dari pandang mata

aku bermimpi...
jadi pohon yang akarnya mencengkeram kuat
jadi daun yang bergoyang di senandung angin
jadi batang yang meninggi raksasa

tetapi...usai pertapaanku...aku terjaga...

aku masih setangkai bunga liar
akarku nyata kecil memeluk tanah sedikit depa
hanya serpihan-serpihan kecil yang rapuh
terbawa angin...jauh...
aku tak bisa menjadi pohon ataupun batang
namun bukan sebab aku lemah
karena Illahi memahatku sebegini rupa
aku tidak lemah...tidak mengeluh...
aku tegar...tangguh...

aku setangkai bunga liar tak bernama...tak berwarna mencolok
menikmati setiap tarian angin-Nya
bercanda bersama kupu-kupu

aku setangkai bunga liar dan aku cinta...
bernama dihadapan-Nya
berwarna di tangan-Nya


@aku hanya setangkai bunga liar dan sederhana, semoga berharga dihadapanmu juga, kekasih...

Senin, 21 November 2011

tatapanmu

aku mencintaimu, sang mata syahdu...
tatapanmu menyejukkan jiwaku untuk semakin mencintai-Nya...

Dorothea Rosa, perempuan yang menuliskan perempuan



"Sampaikanlah tema-tema politik dengan bijaksana dan tenang." Kalimat seperti itulah mungkin yang ingin disampaikan Dorothea Rosa melalui karya-karyanya. Buku-buku kumpulan sajaknya adalah Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nyanyian Rebana (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999) dan Kill the Radio (2001) terpilih sebagai pemenang kedua Sayembara Kumpulan Puisi Terbaik 1998-2000 PKJ-TIM.

Sejak kecil bercita-cita menjadi psikolog tapi setelah dewasa yang kesampaian justru menjadi penulis. Ia masih duduk di bangku SMP ketika tulisan pertamanya dalam bentuk opini dimuat di majalah Hai. Ia suka membaca meski bukan berasal dari keluarga berada yang mampu membeli buku.

Perempuan penulis yang mengagumi Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, dan Arswendo Atmowiloto ini dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963. Sewaktu kuliah di Jurusan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, puisi-puisinya selalu menghiasi rubrik sastra di harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan.

Sempat beberapa tahun menjadi guru di SMA Gama Yogyakarta. Tapi akhirnya ia terjun total sebagai penyair dan penggiat kebudayaan. Pernah menjadi koresponden harian Suara Pembaruan, majalah Prospek, majalah Sarinah dan sejak tahun 1995 menjadi redaktur Jurnal Kebudayaan Kolong terbitan Magelang, Jawa Tengah.

Rosa pernah mengikuti Pertemuan Sastrawan Muda ASEAN di Philiphina tahun 1990, dan Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda tahun 1995. Tahun 2000, ia menjadi writer-residence di Australia.
Rosa mungkin begitu menyadari dirinya yang perempuan dan untuk itu Ia banyak menulis sajak untuk menggambarkan perempuan dari perspektif seorang perempuan. Citra perempuan Indonesia adalah salah satu sumber inspirasinya yang utama. Sebagaimana dalam dua sajaknya ini.

Surat dari Ibu

kutulis pada lipatanlipatan wajahku yang lelah kukisahkan kekecewaanku
pada sungai yang makin kering menjalari rusukrusuk kota kita. seperti urat
yang tak lagi rajin mengalirkan darah ke penjuru tubuhmu. setiap jatuh daun
dan pendar uap menyanyikan murungku pada hari yang selalu berjalan resah.
detikdetik berjajar melukiskan gairah rumput dan amarah batu yang bisu.
kutuliskan suratku, tak beralamat rindu. tahuntahun yang renta mengurung
perjalanan hati yang tak punya cinta. selongsong waktu yang kerontang
berserakan. harihari baru yang berlumut tumbuh di atas tanah tandus.
kutulis surat ini di atas lelangit cerah di lengkung jejalan setapak ruangkosong.
kereta bayi dan keranda tua beriringan seperti bergegas mencari alamat dan nama.
tak kukirimkan kepada sesiapa....

parkhotel am taunus, oktober 2008


Ibu Sembarang Waktu

setiap pintu dan lapislapis tangga menembus igauan cahaya yang gelisah.
lalu di batas yang jauh sana tidak mudah kutebak bayangan menyingkap pendar udara.
langit mengatup pelahan. menyebarkan gerimis atau selinap embun yang bimbang.
ibuku melahirkan kegelapan dan bukit-bukit tandus. melahirkan kejahatan dan
kekacauan. tapi para dewa menghembuskan jiwa ke dalam cangkang-cangkang sunyi.
kehidupan merayap dalam jubahjubah para suci yang memanggul pedang dan
menenteng kepala. gelombang manusia menggulung dalam rintihan parasit di
pokokpokok pohon hutan asing. ibuku menuliskan kelahiran yang tidak berhenti....
rumahrumah ditinggalkan dalam dinding dan benteng yang renta. genangan sejarah palsu
mengubur lantailantai dan merapuhkan pintupintu dan meniupkan angin untuk
membangunkan geritnya. di langit yang tanpa warna burungburung nazar dan gagak liar
membesutkan
bayangan dan kabar keabadian derita.
ibuku menyusui jejakjejak gelap. gulungan waktu yang kering dan sepi. nyanyian pujian
dan ayat-ayat doa yang teramat jauh mendekap luka yang rindu pada keniscayaan.
anakanak durhaka dikloning dalam tebaran lalat dan serangga pencari darah dan nanah.
tubuhnya yang ditindih bermacam penyakit kelamin membekaskan jejak ludah tarantula tua.
sembarang bayi mengubur tubuhnya sendiri yang rapuh dengan tulangtulang lunak.
jarijari tangannya menggoreskan pesan rahasia: tak terbaca dalam kumpulan riwayat
dan doa pelepasan.
ibuku melahirkan sejarah gelap dan sakit. waktu bergerak memanjati bukitbukit ketakutan
dan detaknya menembus rerimba bisu yang mati. langkahlangkahnya menyanyikan gema
dan irama yang dingin dan sedih. bulan tua menuntaskan kalimat dalam sederet kisah luka.
sebagai telur yang gagal, aku membiarkan cangkangku retak dan menetaskan kesia-siaan....

oberursel, oktober 2008



referensi: http://id.wikipedia.org/

Musikalisasi Puisi, cara lain memahami puisi

Geliat puisi dalam mengapresiasikannya semakin mengendur hal ini karena tak jarang dalam memahaminya ada beberapa kesulitan, jika tidak benar-benar menganalisis. Memahami puisi bukan berarti mengartikan puisi namun lebih memberikan makna pada puisi. Dan cara lain dalam memahami puisi adalah dengan memainkan musik atau lebih dikenal dengan musikalisasi puisi.

Musikalisasi puisi mestinya memang unik sebab proses penciptaan karya musik dan puisi terjadi dua kali. Musikalisasi puisi adalah suatu penciptaan karya puisi yang dikemas dalam sebuah lagu, dimana bait-bait puisi menjadi syairnya. Musikalisasi sebuah puisi menjadikan sebuah puisi “lahir dua kali”. Kelahiran pertama adalah kelahiran bait-baitnya dari sang penyair, dan kelahirannya yang kedua berasal dari sang komposer, pencipta musik, penyanyi serta pemain musiknya.

Dari sudut kaidah bahasa Indonesia istilah "musik puisi", yang disebut "diterangkan menerangkan", maka kata "puisi" menerangkan kata "musik". Kata "puisi" merupakan atribut sifat dari kata utama "musik" hingga pengertian istilah "musik puisi" adalah "musik yang puitis". Istilah "musikalisasi puisi" adalah contoh istilah di mana "puisi" merupakan subjek dari perbuatan, yaitu "memusikkan puisi", atau membuat puisi jadi musik.

Musikalisasi puisi di Indonesia sebenarnya telah tumbuh subur sejak era 80-an. Seniman-seniman pelopor musikalisasi puisi di tanah air seperti Ferdi Arsi, Sapardi Djoko Damono, bahkan Emha Ainun Nadjib dapat disebut sebagai tonggak awal musikalisasi puisi di tanah air. Di ranah yang berbeda dengan tapi boleh disepakati sebagai salah satu bentuk musikalisasi puisi adalah semisal Ebiet G. Ade. Penyanyi balada itu memiliki kebiasaan menulis puisi terlebih dulu sebelum menciptakan aransemen musik bagi puisinya sebelum matang menjadi sebuah lagu yang utuh.

Musikalisasi puisi sesungguhnya dapat didesain menjadi salah satu cara untuk mendekatkan puisi kepada khalayak yang lebih luas, tidak hanya peminat sastra. Musikalisasi puisi dapat memberi penajaman makna sehingga dapat membantu masyarakat yang yang tidak berminat pada sastra akhirnya bisa memahami puisi. Puisi-puisi yang kemudian lebih populer sebagai lagu masih dapat dikategorikan sebagai musikalisasi puisi. Para penggemar Iwan Fals yang semula tidak mengenal WS Rendra dan karyanya akhirnya penasaran untuk membaca karya-karya Rendra. Itu terjadi ketika puisi Rendra yang berjudul "Kesaksian" dinyanyikan Iwan Fals bersama Kantata Taqwa pada tahun 1991. Kasus lainnya adalah puisi "Panggung Sandiwara" karya Taufik Ismail yang dimainkan begitu apik oleh God Bless di era 70-an. Taufik Ismail pun menulis "Pintu Surga" pada tahun 2005 yang berhasil dipopulerkan kelompok musik Gigi.

gadis itu

Aku menemukan gadis itu menyiratkan senyuman penuh luka. Ia membuang wajahnya yang segar itu keluar jendela. Memperhatikan setiap pepohonan yang mulai berderet jarang-jarang di sepanjang jalan dan mobil-mobil yang berlainan arah. Wajahnya seperti perdu ditumpahi hujan yang berkepanjangan dan dimekarkan oleh bunga-bunga berwarna kuning, sekuning baju yang ia kenakan. Begitu dingin dan beku. Namun wajah segar putih yang memantul kekuningan itu adalah wajah yang serupa dengan suasana itu. Siang yang mendung dengan langit keabuan membentang tanpa jeda. Sesekali aku melihat gadis itu menelan ludah saat tatapan kami bertemu. Aku tahu, gadis kuning itu menyukai bunga-bunga yang dipegangnya. Aku menghampirinya.

@Pelataran Solaria, balikpapan

lintasan sepenggal cerita sore itu

Cuaca bumi etam siang ini sungguh galau. Hujan tanpa kenal hari. Aku menyukai hujan, hujan bisa mengaburkan suaraku dan embun menguap ke langit bersama bulir-bulirnya, aku merindukannya. Rindu itu jauh, kekasih. Seperti ujung cakrawala. Bisu dan biru, basah namun dahaga. Seperti langit yang menuang hujan di bumi etam ini, rinduku hanya membayang.
Dingin menyeruak hingga pori-pori kulitku. Kularikan motor kesayanganku di salah satu mall perbelanjaan di kota minyak.

Secangkir espresso dan setangkup donat menemani lelahku di warung kopi yang terkenal di kota ini. Di sudut ruangan menyendiri, mencoba memahami rinai angin laut Balikpapan dan menulis aksara-aksara hati untuk sang kekasih. Terlintas dirinya di pulau seberang. Semesta...aku sangat rindu perjumpaan. Jarak membuih selaksa bulir-bulir riak hujan menyeringai hari. Dingin kekasih, tanpa hadirmu. Aku rindu.

Kepulan espresso merayap melangit bergumpal hangat, melukiskan lintasan percakapan kemarin malam.
"Kapan kau datang? Kenapa tidak memberi kabar? Aku bisa mempersiapkan semuanya". Katamu ketika kita bertemu di koridor ruang perkuliahan.
"Hai, kemarin sore aku datang, kabar selalu baik. Terima kasih, tapi aku sudah di jemput sama temanku, gimana kabarmu selama ini?" kataku, oh si Mata Elang...akhirnya bertemu juga aku denganmu setelah sekian waktu ku tinggal menunaikan tugas. Kau tak berubah, selalu mata elangmu itu mencengkeram mata dan tubuhku, namun bukan luka kali ini yangg kulihat, tapi sebuah kerinduan. Hei...ada kerinduan di mata elangmu.
"Aku senang kau kembali ke kota ini, hhmmm....semoga kita bisa kembali seperti dulu." Lirihmu di antara lengangnya koridor ini. "Maaf jika membuatmu seperti itu." lanjutmu.
"Maksudmu?"....aku paham maksudnya, namun pura-pura adalah hal yang baik.
"Sudahlah lupakan saja, aku tahu kamu di sana sudah menemukan yang lebih baik." uraimu. Aku tahu itu sebuah kekecewaan, sesaat?aku tidak tahu. Aku ingin mengatakannya namun aku telah melihat bahwa dia juga sudah mengerti aku, mengapa aku hanya diam.
Oh... mata elang, tidak segampang itu untuk berkata "kembali seperti dulu". kekecewaan, luka yang kau tanam mencacah hati dan raga. Masih mmebekas. Butuh waktu untuk bisa mengembalikan kesakitan ini. Kini kau kembali menawarkan rasamu. Hanya muak yang menyergap diri ketika bertemu kembali denganmu malam itu.

"Sayangku sudah kembali ke sini, aku sungguh senang...aku rindu semua tentangmu. Aku ingin merajutnya kembali bersamamu." Lelaki satunya lagi ketika pertemuan yang tak terduga di sebuah pementasan teater malam itu. Aku menyebutnya si mata ilalang. Mata ilalang yang pesonanya tak pernah padam di mata semua perempuan hingga kini, namun padam di mataku. "Aku rindu baumu, rindu setiap inchi tubuhmu, rindu kebersamaan kita, say..kembalilah bersamaku." lanjutmu lagi.
"Aku juga rindu, kabar semua tentangku baik-baik saja." jawabku. Ya aku merindukanmu. Merindukan perjumpaan denganmu, perjumpaan yang membuktikan bahwa aku kuat, sanggup untuk berdiri sendiri tanpa seorang lelaki yang telah menorehkan belati setajam sisa embun yang siap melangit lepas. Muak melihatmu mengiba diri malam itu.

aku kangen. kangen berdua bersamamu. kangen hari-hari kita. kau sudah tidak di sini?kapan kau kembali lagi ke sini?aku menunggumu.

Hmm...lelaki yang lain. hanya lewat sms. anak muda, kenapa kau kembali lagi menghubungiku. lelah, berusaha melupakanmu. Anak muda yang penuh bijak, berambisi, percaya diri. Betapa percaya dirinya memperjuangkan hubungan kami di depan keluarganya. Namun akhirnya takhluk juga ketika disodorkan seorang perempuan oleh orang tuanya. Semua harus berakhir. Dan semua itu membuat aku muak.

Muak terhadap lelaki yang telah meracau hidupku. Meninggalkan mereka adalah hal yang harus aku lakukan. Semua luka hanya menyisakan dendam kesumat terhadap semua lelaki. Membuktikan tegar, pura-pura tegar. Membuktikan sanggup, memang aku sanggup melupakan mereka.

Kini tersenyum sinis, melihat, mendengar, ibaan mereka untuk kembali. ah...kembali...sebuah kata yang tak termaafkan jika menyangkut luka. Sebuah trauma masa silam yang belum genap hilang, luka yang mengecap belum sembuh, luka lagi yang menambal hidup.

Ahh....kupalingkan wajahku di bulir hujan, rinai angin menyapa lembut, senyuman tersungging di wajah sendu, aku rindu kamu, kekasih. Betapa perjalanan hidup ini membuatku lelah, aku ingin pulang, rebah ke kasihmu. Aku mencintai-Nya lewat pelukan hatimu. Bimbinglah aku, kekasih. Agar ketika aku pulang ke nirwana-Nya, Dia menerimaku, perempuan terluka dan tak sempurna.


@20 November 2011, J.Co cafe Balcony Balikpapan, sore menjingga...