Sabtu, 10 Desember 2011

Aku dan perempuan itu, kekasih..

Tengah malam, aku baru menyelesaikan sebuah naskah di depan laptopku. Sementara dua gelas kopi, segelas air putih, sebotol sirup multivitamin, teronggok setia di sudut meja kerjaku. Aku bangkit dari dudukku dan menyelonjorkan otot-otot punggungku yang kaku dengan berbaring di sofa. Oh..malam...hujan yang mendadak menyiram bumi etam. Beranjak menatap di bingkai jendela, bersandar pada selembar sajadah usang.Sisa waktu adalah keheningan, tersungkur dengan air mata dan doa. Menyepi, sendiri menuju sang Maha Sendiri. Rindu dalam kesenyapan

Perempuan itu menyenandungkan lagu kesunyian di tengah malam. Sang jibril menemaninya dengan setia, apakah masih pantas rapalan doanya menghuni langit-Nya, ketika tahu bahwa palungnya ternoda? Apakah masih pantas rapalan doanya meminta sang lelaki itu menjadi tulang penyangganya yang kian rapuh? Senandungnya hanya tinggal senandung. Hanya bisa terpaku senyap menyapa buih bayangan sang lelaki.

Kekasih..tadi senja menyilaukan merah saga. Lantang sinarnya menjingga, mengkilau. Apakah senja itu perpisahan? Entahlah. Aku hanya bersenandung lirih sambil memandang jauh ke arah laut lepas. Riak ombak, ramai pejalan kaki menjadi pemandangan yang sejenak meyekat pikiran. Sejenak desau angin menyapu udara. Menyadarkanku dari kesendirian. Sesaat aku memaki. Untuk apa aku di sini seorang diri? Berada di antara ratusan orang yang melenggang bergandengan dengan menyungging senyum menebar tawa kegembiraan. Sejenak aku dihinggapi rasa iri yang menusuk dalam, menggerogoti logika warasku tanpa perlawanan ketika kudapati puluhan pasang mata berbinar duduk dibuai kemesraan, dan aku?
Cuaca murung, hujan turun selembut embun namun cukup membasahkan.

Kekasih..aku bertemu dengan dia, perempuan itu. Bolehkah aku menyebutkannya dengan "perempuanku", kekasih? Aku menyukainya. Aku melihatnya di pelepasan senja. Perempuan itu berdiri di batas nadirnya, rapuh dengan paras tegarnya. Baginya, hidup adalah sebuah perjalanan panjang menuju keabadian. Dia mengisahkan aksara hidup yang telah dia guratkan selama nafas dan waktu memihaknya.

Perempuan itu melukis dosa yang tak terjemahkan. Ia tulis rahasia puisi yang perih dendam dalam gesekan rebab lalu ia hentakkan tarian yang gelap dan mistis. Segerombolan lelaki melata di atas perutnya. Mengukur berapa leleh keringat pendakian itu. Perempuan itu membangun surga dalam genangan air mata, menciptakan sungai sejarah sepanjang abadi. Meski di antara barisan rapi para lelaki yang dulu merajah jiwa raganya. Dan Tuhan menamainya takdir.

"Aku hanya ingin Tuhan melihatku. Lihat aku Tuhan, kan kutuntaskan pemberontakanku pada-Mu!" Katanya setiap kali usai bercinta yang dilakukannya dengan tangis, sakit, muak. Perempuan itu muak dengan semua laki-laki. Dendam? Aku tidak tahu.
Ah...perempuan, hati membumbung kebencian terhadap para lelaki dengan topeng-topeng kemunafikannya,yang selama ini meneriakkan tegaknya moralitas tersingkap dengan amarah perempuan itu. Namun ketika cinta anugerah dari Tuhannya menyapanya, perempuan bimbang antara luka, benci, marah, sesal menyatu pada palungnya. Tertunduk menekuri di bawah kaki Tuhannya.

"Lelaki itu mencintaiku, namun aku marah ketika dia mengungkapkannya. Kau tahu? Aku tak pantas untuknya. Dia terlalu sempurna. Aku adalah jalang. Aku adalah dina. Sudah beragam lelaki yang mencicipi tubuhku." Tangisan lirihnya yang menyungkur hatiku. Aku terpana. Sebuah pengakuan. Pengakuan yang menyentakku. Kata-katamu menusuk, terluka. Membuatku takzim. Aku mendengarkanmu, perempuanku. Aku menangisimu.
"Suruh dia meninggalkanku, banyak wanita yang lebih terhormat, berharga, suci dibandingkan aku." Katamu di sela isak senja. "Biarlah aku naif, biarlah aku luka, biarlah aku sakit, munafik. Aku mencintainya. Biarkanlah cinta ini kubawa dalam kesenyapanku." Lirihmu.
"Dia tahu jika kau..."
"Tak perawan?" Tukasmu cepat. "Iya dia tahu. Dia berusaha membimbingku keluar dari trauma panjangku."
"Dia lelaki bijak, sayang. Dia mencintaimu. Dia menerima kamu apa adanya. Semua manusia tak ada yang sempurna, sayang. Begitu juga aku. Aku tak beda jauh denganmu, perempuanku. Aku hidup dari ketidaksempurnaan. Melalui dosa aku bisa dewasa dalam memahami hidup ini, terlebih hidupku. Aku juga mencintai seorang lelaki. Lelaki sederhana. Lelaki bermata syahdu. Lelaki yang tersirat dan tersurat pertemuannya diguratkan oleh-Nya. Dengannya aku semakin mencintai waktu dan diri-Nya. Namun, dia masih bersama perempuan yang dicintainya. Justru akulah yang naif, absurd, munafik, sayang. Aku tetap mencintainya. Cinta dalam kesenyapan. Dan aku menikmatinya." Perbincanganku bersamanya di kala senja yang berwarna merah saga.

Kekasih...adakah kau di sana merindukanku? Seperti aku merindukanmu? Akulah yang absurd. Mencintaimu, mempertahankan rasa ini. Terbesit raga ini ingin bersamamu, selamanya. Namun, aku hanyalah seorang perempuan yang tak sempurna, yang hanya bisa berharap terhadap Tuhanku. Sempat raga ini menyerah. Rasa tak menyerah. Biarkanlah aku jadi seperti itu. Tuhanku yang tahu, kekasih. Terima kasih mencintaiku.

Wajah langit mulai menggelap sepertiga malam. Aku teringat-Nya dan teringat dirimu. embun mulai mengkristal ketika mengingat semua perjalanan hidupku, kekasih. Tasbih setia menemani malam-malamku. Dalam rintihan doa syukur. Bimbing aku lebih mencintai-Nya, kekasih.

@sepertiga malam di tanah etam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar