Rabu, 21 Desember 2011

pulang

dari beranda sepi dan suara senandung kidung-Nya
merapalkan aksara doa kepada-Nya
aku berdiri di batas senja yang berjanji

dari bumi etam di garis khatulistiwa
malam cepat merambatkan cahaya emas
aku rindu purnama ini

dari pelataran berselimutkan mantra cinta
mereka berpilin dan mengaduh di sketsa jarak
mengejar waktu untuk berhenti

pada petang yang pikun dan malam yang tertatih berat
menyambut kelahiran sang pagi
samar kau membayang dengan syahdu dan senyuman
aku di seberang..hanya menanti

Kamis, 15 Desember 2011

Materi Keterampilan Menyimak: meningkatkan Daya Simak Siswa Didik

Meningkatkan Daya Simak siswa didik

Kegiatan-kegiatan mempertinggikan daya simak siswa:
*Guru memperkenalkan bunyi-bunyi, jeda, pola intonasi, tekanan yang kontrastif
*Menceritakan suatu kisah
*Menirukan suatu dialog
*Menyimak pada rekaman-rekaman
*Menyimak apresiasi seni
*Kegiatan wawancara

Sikap guru turut mempertinggi daya simak siswa
Sikap guru yang bagaimanakah yang turut meningkatkan dan mempertinggi
daya simak para siswa?


R.G. Nichols dan Leonard A Stevens dalam bukunya yang berjudul “Are You Listening?”
Sediakanlah waktu untuk menyimak
#Berilah perhatian
#Berikanlah reaksi lisan yang wajar
#Jangan mengorek-ngorek fakta tambahan
#Jangan menilai apa yang telah dikatakan
#Jangan menghilangkan kepercayaan akan kemampuan si pembicara untuk memecahkan #serta menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri

Beberapa kegiatan di kelas yang dapat memberikan penekanan pada keterampilan-keterampilan menyimak
@Biasakanlah secara rutin memberi petunjuk-petunjuk hanya sekali saja dalam suatu pelajaran
@Sering-seringlah menggunakan ujian lisan
@Membuat review lisan terhadap pelajaran hari sebelumnya
@Membuat rangkuman lisan
@Lakukan permainan-permainan lisan

A good listener
*Berlaku sopan santun
#Memperoleh fakta-fakta
*Benar-benar memusatkan perhatian
#Menyimak dengan pertimbangan sehat
@Dapat memanfaatkan apa yang disimaknya

Sabtu, 10 Desember 2011

Aku dan perempuan itu, kekasih..

Tengah malam, aku baru menyelesaikan sebuah naskah di depan laptopku. Sementara dua gelas kopi, segelas air putih, sebotol sirup multivitamin, teronggok setia di sudut meja kerjaku. Aku bangkit dari dudukku dan menyelonjorkan otot-otot punggungku yang kaku dengan berbaring di sofa. Oh..malam...hujan yang mendadak menyiram bumi etam. Beranjak menatap di bingkai jendela, bersandar pada selembar sajadah usang.Sisa waktu adalah keheningan, tersungkur dengan air mata dan doa. Menyepi, sendiri menuju sang Maha Sendiri. Rindu dalam kesenyapan

Perempuan itu menyenandungkan lagu kesunyian di tengah malam. Sang jibril menemaninya dengan setia, apakah masih pantas rapalan doanya menghuni langit-Nya, ketika tahu bahwa palungnya ternoda? Apakah masih pantas rapalan doanya meminta sang lelaki itu menjadi tulang penyangganya yang kian rapuh? Senandungnya hanya tinggal senandung. Hanya bisa terpaku senyap menyapa buih bayangan sang lelaki.

Kekasih..tadi senja menyilaukan merah saga. Lantang sinarnya menjingga, mengkilau. Apakah senja itu perpisahan? Entahlah. Aku hanya bersenandung lirih sambil memandang jauh ke arah laut lepas. Riak ombak, ramai pejalan kaki menjadi pemandangan yang sejenak meyekat pikiran. Sejenak desau angin menyapu udara. Menyadarkanku dari kesendirian. Sesaat aku memaki. Untuk apa aku di sini seorang diri? Berada di antara ratusan orang yang melenggang bergandengan dengan menyungging senyum menebar tawa kegembiraan. Sejenak aku dihinggapi rasa iri yang menusuk dalam, menggerogoti logika warasku tanpa perlawanan ketika kudapati puluhan pasang mata berbinar duduk dibuai kemesraan, dan aku?
Cuaca murung, hujan turun selembut embun namun cukup membasahkan.

Kekasih..aku bertemu dengan dia, perempuan itu. Bolehkah aku menyebutkannya dengan "perempuanku", kekasih? Aku menyukainya. Aku melihatnya di pelepasan senja. Perempuan itu berdiri di batas nadirnya, rapuh dengan paras tegarnya. Baginya, hidup adalah sebuah perjalanan panjang menuju keabadian. Dia mengisahkan aksara hidup yang telah dia guratkan selama nafas dan waktu memihaknya.

Perempuan itu melukis dosa yang tak terjemahkan. Ia tulis rahasia puisi yang perih dendam dalam gesekan rebab lalu ia hentakkan tarian yang gelap dan mistis. Segerombolan lelaki melata di atas perutnya. Mengukur berapa leleh keringat pendakian itu. Perempuan itu membangun surga dalam genangan air mata, menciptakan sungai sejarah sepanjang abadi. Meski di antara barisan rapi para lelaki yang dulu merajah jiwa raganya. Dan Tuhan menamainya takdir.

"Aku hanya ingin Tuhan melihatku. Lihat aku Tuhan, kan kutuntaskan pemberontakanku pada-Mu!" Katanya setiap kali usai bercinta yang dilakukannya dengan tangis, sakit, muak. Perempuan itu muak dengan semua laki-laki. Dendam? Aku tidak tahu.
Ah...perempuan, hati membumbung kebencian terhadap para lelaki dengan topeng-topeng kemunafikannya,yang selama ini meneriakkan tegaknya moralitas tersingkap dengan amarah perempuan itu. Namun ketika cinta anugerah dari Tuhannya menyapanya, perempuan bimbang antara luka, benci, marah, sesal menyatu pada palungnya. Tertunduk menekuri di bawah kaki Tuhannya.

"Lelaki itu mencintaiku, namun aku marah ketika dia mengungkapkannya. Kau tahu? Aku tak pantas untuknya. Dia terlalu sempurna. Aku adalah jalang. Aku adalah dina. Sudah beragam lelaki yang mencicipi tubuhku." Tangisan lirihnya yang menyungkur hatiku. Aku terpana. Sebuah pengakuan. Pengakuan yang menyentakku. Kata-katamu menusuk, terluka. Membuatku takzim. Aku mendengarkanmu, perempuanku. Aku menangisimu.
"Suruh dia meninggalkanku, banyak wanita yang lebih terhormat, berharga, suci dibandingkan aku." Katamu di sela isak senja. "Biarlah aku naif, biarlah aku luka, biarlah aku sakit, munafik. Aku mencintainya. Biarkanlah cinta ini kubawa dalam kesenyapanku." Lirihmu.
"Dia tahu jika kau..."
"Tak perawan?" Tukasmu cepat. "Iya dia tahu. Dia berusaha membimbingku keluar dari trauma panjangku."
"Dia lelaki bijak, sayang. Dia mencintaimu. Dia menerima kamu apa adanya. Semua manusia tak ada yang sempurna, sayang. Begitu juga aku. Aku tak beda jauh denganmu, perempuanku. Aku hidup dari ketidaksempurnaan. Melalui dosa aku bisa dewasa dalam memahami hidup ini, terlebih hidupku. Aku juga mencintai seorang lelaki. Lelaki sederhana. Lelaki bermata syahdu. Lelaki yang tersirat dan tersurat pertemuannya diguratkan oleh-Nya. Dengannya aku semakin mencintai waktu dan diri-Nya. Namun, dia masih bersama perempuan yang dicintainya. Justru akulah yang naif, absurd, munafik, sayang. Aku tetap mencintainya. Cinta dalam kesenyapan. Dan aku menikmatinya." Perbincanganku bersamanya di kala senja yang berwarna merah saga.

Kekasih...adakah kau di sana merindukanku? Seperti aku merindukanmu? Akulah yang absurd. Mencintaimu, mempertahankan rasa ini. Terbesit raga ini ingin bersamamu, selamanya. Namun, aku hanyalah seorang perempuan yang tak sempurna, yang hanya bisa berharap terhadap Tuhanku. Sempat raga ini menyerah. Rasa tak menyerah. Biarkanlah aku jadi seperti itu. Tuhanku yang tahu, kekasih. Terima kasih mencintaiku.

Wajah langit mulai menggelap sepertiga malam. Aku teringat-Nya dan teringat dirimu. embun mulai mengkristal ketika mengingat semua perjalanan hidupku, kekasih. Tasbih setia menemani malam-malamku. Dalam rintihan doa syukur. Bimbing aku lebih mencintai-Nya, kekasih.

@sepertiga malam di tanah etam

Rabu, 07 Desember 2011

gerhana mata

Gerhana Mata

Malam selalu memberi ketenangan. Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang kegelapan. Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-ngacungkan telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir, di atas pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir.

Banyak orang yang begitu takut pada malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba. Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang.



Tapi saya selalu merasa malam memberi ketenangan. Semakin gelap semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat. Sedemikian dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya akhirnya begitu terang terlihat.

Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.

Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling mengeluarkan lenguhan.

Di saat-saat seperti itu, di kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok. Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara ponsel yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu. Lembut mendayu-dayu. Tak saya sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah dan menjauh. Tak terdengar suaranya yang sengaja dibuat lirih ketika menjawab panggilan telepon dan mengatakan kalau ia sedang tidak ingin diganggu dengan alasan penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti kecuali saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.

Kami hanya bertemu kala siang. Kala api rindu sudah semalaman memanggang. Kala segala garis maupun lekukan amat nyata terlihat dengan mata telanjang. Segala garis maupun lekukan itu selalu diikuti bayang-bayang. Dan dalam bayang-bayang itulah kami betemu dan bersatu. Di sanalah kami saling menjamu keinginan antara satu dengan yang satu.

Banyak yang mempertanyakan. Kenapa saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau malam? Karena buta, saya bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun yang saya inginkan. Tak terkecuali pagi. Tak terkecuali malam.

Banyak yang tambah mempertanyakan. Kenapa harus buta? Kenapa tidak menggunakan mata asli demi melihat pagi asli atau malam asli. Kenapa harus menciptakan buta yang tak asli? Karena cinta, saya bilang. Dalam cinta saya bisa merasakan segala sesuatunya asli, walaupun di kala pagi dan malam yang tak asli.

Terus terang, saya tidak pernah dapat memastikan apakah pertanyaan-pertanyaan itu asli. Kadang saya merasa pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang dari orang-orang, melainkan datang dari diri saya sendiri. Sehingga saya pun tak dapat memastikan apakah jawaban saya asli. Karena tidak mungkin sesuatu yang asli lahir dari yang tak asli.

Namun lagi-lagi perasaan ini terasa asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin mengulanginya kembali.

Saya tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tapi dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala siang, bukan kala pagi atau malam hari. Kala siang dengan durasi waktu yang amat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam penantian dan rindu yang mengimpit. Membuat saya kerap merasa terjepit. Antara lelah dan lelah. Antara pasrah dan pasrah. Saya terjebak dan berputar-putar pada dua pilihan yang sama. Saya jatuh cinta.

Andai saja saya bisa mendepak cinta dan menghadirkan logika, mungkin tak akan seperti ini saya tak berdaya. Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan tubuh lain ke dalam selimut saya akan beringsut. Juga tak akan ada siang di mana saya meradang dan menggelepar atas tubuh yang menyentuh di atas seprai kusut lantas terhenti oleh dering panggilan ponsel yang membuat satu-satunya fungsi pada tubuhnya yang mempersatukan tubuh kami jadi menciut.

Mungkin?

Mungkin satu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami berdua.

Mungkin?

Enam tahun sudah waktu bergulir. Sejak kemarin, di jari manis kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya terukir. Dalam kegelapan malam kedua mata ini menumpahkan air. Di atas pembaringan tanpa suami yang tetap tak akan hadir.


Gerhana Mata-Djenar Maesa Ayu